Sunday, May 12, 2013


TAFSIR SURAT AT-TAUBAH AYAT 122

Tafsir Surah At Taubah 122 

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ 

       Dalam ayat ini, Allah swt. menerangkan bahwa tidak perlu semua orang mukmin berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan. 

      Orang-orang yang berjuang di bidang pengetahuan, oleh agama Islam disamakan nilainya dengan orang-orang yang berjuang di medan perang. Dalam hal ini Rasulullah saw. telah bersabda:

يوزن يوم القيامة مداد العلماء بدم الشهداء

"Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang)".


Tugas ulama umat Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut adalah merupakan tugas umat dan tugas setiap pribadi muslim sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah saw. telah bersabda;

بلغوا عني ولو آية

"Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) daripadaku walaupun hanya satu ayat Alquran".

        Akan tetapi tentu saja tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk bertekun menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sebagiannya sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islam dengan cara atau metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula.
Apabila umat Islam telah memahami ajaran-ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat. 

         Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan besar yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh. Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam dinas kemiliteran dan kepolisian. 

       Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu tersebut adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidaklah dapat dibenarkan bila ada orang-orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuannya hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja, apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai kebanggaan dan kesombongan diri terhadap golongan yang belum menerima pengetahuan. 

        Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan haruslah menjadi mercusuar bagi umatnya. Ia harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula. Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama.
Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.

Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma segi kehidupan manusia. Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik. Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban adalah wajib pula hukumnya. 

Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi: 

كل ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

"Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya".

Karena pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama (sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama dari wajib militer agar pengajaran dan pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang menghadapi bahaya besar yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat.

Tafsir Jalalain / Surah At Taubah 122





وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ


      Tatkala kaum Mukminin dicela oleh Allah bila tidak ikut ke medan perang kemudian Nabi saw. mengirimkan sariyahnya, akhirnya mereka berangkat ke medan perang semua tanpa ada seorang pun yang tinggal, maka turunlah firman-Nya berikut ini: (Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi) ke medan perang (semuanya. Mengapa tidak) (pergi dari tiap-tiap golongan) suatu kabilah (di antara mereka beberapa orang) beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat (untuk memperdalam pengetahuan mereka) yakni tetap tinggal di tempat (mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu dapat menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. 

      Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas r.a. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyah-sariyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyah lantaran Nabi saw. tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal di tempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada bila Nabi saw. berangkat ke suatu ghazwah.

ASBABUNUZUL SURAT AT-ATAUBAH AYAT 122
Tafsir Sebab turun Surah At Taubah 122


وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ 

    Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ikrimah yang menceritakan, bahwa ketika diturunkan firman-Nya berikut ini, yaitu, "Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih." (Q.S. At-Taubah 39). Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka berada di daerah badui (pedalaman) karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya, "Sungguh masih ada orang-orang yang tertinggal di daerah-daerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu." Kemudian turunlah firman-Nya yang menyatakan, "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)." (Q.S. At-Taubah 122). 

      Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis lainnya melalui Abdullah bin Ubaid bin Umair yang menceritakan, bahwa mengingat keinginan kaum Mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila Rasulullah saw. mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan Nabi saw. di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah. Maka turunlah firman Allah swt. yang paling atas tadi (yaitu surah At-Taubah ayat 122)

Tuesday, April 30, 2013

Tujuan hidup manusia menurut Islam

Add caption


Banyak orang yang bertanya, apa sih arti kehidupan ini? Kenapa sih kita harus hidup di dunia ini? Jika kita cermati sedemikian rupa atas dua pertanyaan ini, maka akan banyak sekali jawaban. Satu dengan lainnya bisa saja bertentangan, tidak sama atau bisa saja mirip. Jawaban tentu bergantung pada ilmu dan akhlak orang yang menjawab. Ada yang akan menjawab bahwa kehidupan adalah uang. Jadi setiap detik dalam kehidupannya digunakan untuk mencari uang. Jika tidak ada uang, ia seperti kehilangan hidupnya. Ada pula yang menjawab bahwa kehidupan adalah kedudukan atau pangkat dan jabatan, atau sebagian lainnya menganggap bahwa hidup di dunia adalah bersenang-senang. Golongan ini adalah mereka yang menganggap bahwa dunia adalah titik akhir, sehingga mereka terus mencari kesenangan dunia.

Padahal kehidupan ini adalah suatu kesempatan yang berharga untuk kita, jadi mari jangan disia-siakan. Jangan menyiakan hidup ini untuk sesuatu yang tidak jelas manfaat dan faedahnya. Kenikmatan yang kita renggut selama ada dunia ini adalah kenikmatan semu yang tidak kekal dan suatu saat bisa hilang tanpa bekas. Apalagi jika kita renungkan baik-baik, berapa lama kita akan hidup di dunia ini? Sebenarnya cuma sebentar. Apakah ada yang menjamin kita akan hidup 30 atau 50 tahun lagi? Demikian Allah berfirman yang artinya:

“Seolah-olah tatkala melihat hari kiamat itu, mereka tidaklah hidup (di dunia) kecuali hanya sesaat saja di waktu siang atau sesaat di waktu dhuha.” QS. An-Nazi’at: 46

Sebuah pertanyaan menarik lantas muncul di benak kita, tentang apa yang harus kita lakukan di dunia ini. Jika kita tidak ingin hidup kita sia-sia dan mengarah kepada hal yang tidak jelas, tentu saja kita sebagai orang muslim harus merujuk kepada kitab suci Al-Quran untuk menemukan jawabannya. Dan jawaban itu sudah diberikan oleh Allah 1400 tahun yang lalu dalam firmanNya:

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” QS. Adz-Dzariyat: 56

Namun ayat ini harus dipahami dengan baik dan benar, jangan hanya kulitnya saja. Meskipun dikatakan bahwa jin dan manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah kepadaNya, bukan berarti kita harus sepanjang waktu berada di masjid. Ibadah itu sendiri dalam arti yang luas. Pernahkah anda mendengar bahwa senyum yang tulus dan ikhlas karena Allah itu juga ibadah? Apakah anda pernah mendengar bahwa bekerja mencari nafkah yang halal untuk keluarga juga termasuk ibadah? Intinya, ibadah yang dimaksud oleh Allah dalam ayat diatas adalah segala hal, baik itu ucapan maupun perbuatan yang kita lakukan dengan nama Allah, dengan mematuhi segala perintahNya dan tidak melanggar larangannya.

Jadi, itulah inti dari kehidupan. Kita melakukan segala hal karena Allah. Saat di pasar, saat di sekolah, saat di jalan, semua harus dilakukan karena Allah dan mengingat Allah. Allah Maha Tahu apa yang kita kerjakan.


Tujuan hidup manusia menurut Islam

Add caption
Tujuan Hidup Manusia Menurut Islam

Banyak orang yang bertanya, apa sih arti kehidupan ini? Kenapa sih kita harus hidup di dunia ini? Jika kita cermati sedemikian rupa atas dua pertanyaan ini, maka akan banyak sekali jawaban. Satu dengan lainnya bisa saja bertentangan, tidak sama atau bisa saja mirip. Jawaban tentu bergantung pada ilmu dan akhlak orang yang menjawab. Ada yang akan menjawab bahwa kehidupan adalah uang. Jadi setiap detik dalam kehidupannya digunakan untuk mencari uang. Jika tidak ada uang, ia seperti kehilangan hidupnya. Ada pula yang menjawab bahwa kehidupan adalah kedudukan atau pangkat dan jabatan, atau sebagian lainnya menganggap bahwa hidup di dunia adalah bersenang-senang. Golongan ini adalah mereka yang menganggap bahwa dunia adalah titik akhir, sehingga mereka terus mencari kesenangan dunia.

Padahal kehidupan ini adalah suatu kesempatan yang berharga untuk kita, jadi mari jangan disia-siakan. Jangan menyiakan hidup ini untuk sesuatu yang tidak jelas manfaat dan faedahnya. Kenikmatan yang kita renggut selama ada dunia ini adalah kenikmatan semu yang tidak kekal dan suatu saat bisa hilang tanpa bekas. Apalagi jika kita renungkan baik-baik, berapa lama kita akan hidup di dunia ini? Sebenarnya cuma sebentar. Apakah ada yang menjamin kita akan hidup 30 atau 50 tahun lagi? Demikian Allah berfirman yang artinya:

“Seolah-olah tatkala melihat hari kiamat itu, mereka tidaklah hidup (di dunia) kecuali hanya sesaat saja di waktu siang atau sesaat di waktu dhuha.” QS. An-Nazi’at: 46

Sebuah pertanyaan menarik lantas muncul di benak kita, tentang apa yang harus kita lakukan di dunia ini. Jika kita tidak ingin hidup kita sia-sia dan mengarah kepada hal yang tidak jelas, tentu saja kita sebagai orang muslim harus merujuk kepada kitab suci Al-Quran untuk menemukan jawabannya. Dan jawaban itu sudah diberikan oleh Allah 1400 tahun yang lalu dalam firmanNya:

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” QS. Adz-Dzariyat: 56

Namun ayat ini harus dipahami dengan baik dan benar, jangan hanya kulitnya saja. Meskipun dikatakan bahwa jin dan manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah kepadaNya, bukan berarti kita harus sepanjang waktu berada di masjid. Ibadah itu sendiri dalam arti yang luas. Pernahkah anda mendengar bahwa senyum yang tulus dan ikhlas karena Allah itu juga ibadah? Apakah anda pernah mendengar bahwa bekerja mencari nafkah yang halal untuk keluarga juga termasuk ibadah? Intinya, ibadah yang dimaksud oleh Allah dalam ayat diatas adalah segala hal, baik itu ucapan maupun perbuatan yang kita lakukan dengan nama Allah, dengan mematuhi segala perintahNya dan tidak melanggar larangannya.

Jadi, itulah inti dari kehidupan. Kita melakukan segala hal karena Allah. Saat di pasar, saat di sekolah, saat di jalan, semua harus dilakukan karena Allah dan mengingat Allah. Allah Maha Tahu apa yang kita kerjakan.


Monday, April 22, 2013

CINTA TANAH AIR SEBAGIAN DARI IMAN

CINTA TANAH AIR SEBAGIAN DARI IMAN




CINTA TANAH AIR INDONESIA
Add caption

حُبُّ اْلوَطَنِ مِنَ اْلإِيْمَان

“Cinta tanah air adalah sebagian dari iman”



hadist ini adalah hadist maudhu’ sebagaimana disebutkan dalam kitab Silsilatu Ahaaditsu Ad-Dhaifah wal Maudhuah wa Atsarus Sayyi fil Ummah karya Syaikh Al-Bany Hadits ke 36. Edisi terjemahan, Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu jilid-1, cetakan Gema Insani Press. Imam Jalaluddin as-Suyuthi juga menjelaskan bahwa hadist ini derajadnya tidak diketahui [ad-Durar al-Muntatsirah Fii al-Ahaadiits al-Musytahirah karya imam Jalaluddin as-Suyuthi, tahqiq Syaikh Muhammad Luthfi ash-Shabbagh, hal.110, no.190],ummat islam banyak yang membela mati-matian batas-batas negerinya tanpa memperdulikan diatas aturan apa negeri tersebut dibangun.rBanyak orang yang memakai hadist maudhu’ ini untuk memompa rasa patriotisme dan nasionalisme bangsa Indonesia. Dengan keyakinan bahwa hadis ini datang dari Rasulullah

Jika negeri tersebut dibangun atas dasar islam dan berusaha menerapkan syari’at islam disetiap lininya, maka wajib bagi ummat islam untuk membelanya. Akan tetapi jika negeri tersebut dibangun bukan diatas syari’at islam, melainkan syari’at kekufuran, maka bagi seorang muslim haram membela peperangan tersebut, karena peperangan yang tidak dijalan Allah adalah dijalan toghut. Di dunia ini hanya ada dua jalan, sabilillah dan sabilut toghut, tidak ada jalan yang ketiga. Allah Ta’ala berfirman :


الَّذِينَ آَمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah. [an Nisa’ :76 ] 

Ibnu Katsir menjelaskan : Orang-orang yang beriman berperang dalam ketaatan pada Allah dan keridhoan-Nya, dan orang-orang kafir berperang dalam ketaatan pada syetan. [ tafsir Ibnu Katsir ayat 76 ].
Jelaslah disini, jika seseorang cinta tanah air secara membabibuta, ia serahkan jiwa dan raga serta berperang karenanya tanpa berfikir pada kelompok manakah ia berperang, maka ia hanya akan dimanfaatkan setan untuk mengutkan kelompoknya.

Cinta tanah air Islam

Islam mengajarkan pada kita bahwa setiap bumi yang dikuasai ummat islam dan diterapkan syari’at islam adalah negeri islam. Dimanapun dan kapanpun berada. Tidak dibatasi warna kulit dan suku. Atau juga dibatasi oleh petak-petak tanah yang ditentukan oleh manusia. Dan jika ada sebuah syari’at islam diterapkan di negeri Islam kemudian diserang oleh musuh-musuh islam, wajib bagi ummatnya untuk membelanya. Dimulai dari yang terdekat yaitu rakyatnya, dan jika tidak mampu kewajiban tersebut meluas pada seluruh ummat islam di dunia. Ibnu Taimiyah berkata

فَالْعَدُوُّ الصَائِلُ الذِي يُفْسِدُ الدِيْنَ وَالدُّنْيَا لاَ شَيْءَ أَوْجَبُ بَعْدَ الْإِيْمَانِ مِنْ دَفْعِهِ

Musuh yang menyerang yang merusak din dan dunia (ummat islam) tidak ada yang lebih wajib setelah iman kecuali menolaknya. [ Majmu’ fatawa 4/608 ] 

Bahkan empat imam madzhab sepakat jika musuh masuk negeri Islam tidak ada lagi ijin bagi seorang yang berhutang kepada yang dihutangi, anak kepada orang tuanya, istri kepada suaminya karena jihad pada waktu tersebut fardhu ‘ain.

Hari ini, ketika bumi-bumi Islam dirampas oleh orang-orang kafir karena menerapkan syari’at Islam, wajib bagi setiap muslim untuk membelanya dengan berbagai kemampuan yang dimiliki. Lihatlah, bagaimana orang-orang Israel telah menjajah Palestina, Amerika dan sekutunya memerangi Afganistan dan Iraq, serta yang terbaru adalah merampas kembali Lembah swat dari kaum muslimin, maka wajib bagi kaum muslimin untuk membantu mereka. Jika masalahnya ketidakmampuan kita untuk pergi kesana, maka dengan harta atau minimal dengan do’a-do’a kita. Ibnu Taimiyah berkata

إِذَا دَخَلَ العَدُوُّ بِلاَدَ الْإِسْلاَمِ فَلاَ رَيْبَ أَنَّهُ يَجِبُ دَفْعُهُ عَلَى الْأَقْرَبِ فَالْأَقْرَب، إِذْ بِلاَدُ الْإِسْلاَمِِ كُلُّهَا بِمَنْزِلَةِ البَلْدَةِ الْوَاحِدَةِ، وَأَنَّهُ يَجِبُ النَفِيْرُ اِلَيْهِ بِلاَ إِذْنِ وَالِدٌ وَلاَ غَرِيْمٌ

Jika musuh telah masuk negeri Islam, maka tidak diragukan lagi wajib untuk menolaknya dimulai dari yang dekat. Karena semua negeri Islam kedudukannya sebagaimana satu negeri. Dan bahwasanya wajib untuk pergi kemedan jihad tanpa izin orang tua,orang hutang pada yang dihutangi. [ Majmu’ fatawa 4/608 ].

Inilah yang disebut cinta tanah air Islam. Yaitu dengan membelanya jika diserang, membangun negerinya dengan amar ma’ruf dan nahyu munkar, serta selalu menasehati pemimpinnya jika menjauh dari syari’at islam. Jadi standartnya bukan sebuah isme tertentu, dengan menuduh orang yang tidak cocok dianggap tidak cinta tanah air, jelas ini adalah pemikiran picik. Akan tetapi standartnya adalah syari’at Islam.

Siapa yang cinta dan perusak tanah air

Kalau kita perhatikan di sekeliling kita justru yang merusak tanah air sebenarnya orang-orang yang menggembar – gemborkan paham nasionalis. Yaitu mereka yang menyatakan dirinya sebagai pembela tanah air, pembela persatuan dan kesatuan. Bukankah kesyirikan dan kemaksiatan, kasus korupsi, proyek pembabatan hutan, pencemaran lingkungan, penindasan, kesewenang-wenangan dan yang lainnya dilakukan oleh mahluk yang menamakan dirinya nasionalis?, yang tiap tanggal 17 agustus khidmat merayakan hari kemerdekaan. Politikus yang gigih membela paham cinta tanah air. Padahal cinta tanah air tanpa didasari ilmu yang benar hanya akan menimbulkan kerusakan. Allah Ta’ala berfirman

 :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [ QS. Ar Ruum : 41 ]
Imam At Tobari menjelaskan : Telah nampak kemaksiatan dimuka bumi dan lautnya disebabkan tangan manusia melanggar apa yang telah Allah larang darinya. [ Tafsir At Tobari pada ayat tersebut ].
Maka jelaslah, mereka bukan pencinta tanah air tetapi pecinta sistem yang berlaku pada tanah air tersebut.. Karena sistem yang mereka cintai memeberikan keleluasaan untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan dengan hukum yang berpihak pada kerakusan. Dengan penegak-penegak hukum yang bisa disogok. Mereka menyerukan pada rakyat untuk mencintai negeri ataupun negara dengan paham nasionalismenya, menyerukan persatuan, sampai menyebarkan hadis palsu. Tujuannya bukan kesejahteraan dan keadilan rakyat tapi keuntungan pribadi, kelompok atau golongan. Nasionalisme hanya dijadikan alat saja.
Sementara itu penegak-penegak syariat Islam dianggap sebagai perusak, pemecah persatuan, pengacau dll. Padahal menegakan syariat adalah refleksi dari cinta kepada Allah sekaligus refleksi rasa cinta pada manusia. Manusia sebagai mahluk yang bermartabat tidak boleh ditindas, dizahalimi. Manusia harus diselamatkan baik dalam kehidupan dunia dan akhirat. Juga refleksi dari cinta pada bumi tempat berpijak agar terpelihara dari kerusakan dan azab Allah. Allah sebutkan mereka itu dalam alqur’an

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ (*) أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لَا يَشْعُرُونَ

Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”Ingatlah, Sesungguhnya mereka Itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. [ QS. Al Baqarah : 11-12].
Yang dimaksud kerusakan disini, ditafsirkan oleh Ibnu katsir dengan kekufuran dan perbuatan maksiat. Maka alasan orang-orang nasionalis untuk menyejahterakan Indonesia dengan melanggengakan berbagai kekufuran, kesyririkan dan kemaksiatan melalui dinas pariwisata dan yang lainnya, jelas tidak akan menjadi baik. Bahkan sebaliknya akan bertambah sengsara karena mereka telah melanggar aturan-aturan Allah Ta’ala.
Manusia diturunkan ke muka bumi untuk menjadi Khalifah, ia wajib menjadi pengatur dan pengelola bumi. Setiap muslim di manapun tinggal di bumi ini harus menunjukkan cintanya pada bumi tempat mereka berpinjak. Cinta pada tanah air tidak identik dengan acara cium mencium bendera atau upacara bendera. Tetapi harus dibuktikan dengan kerja nyata. Dalam kehidupan sehari-hari muslim yang mencintai tanah air akan selalu menjaga lingkungannya baik di darat, di laut maupun udara dari keruksakan. Ajaran Islam melarang umatnya untuk merusak hidup dan kehidupan.

Cinta tanah air Indonesia bukan dengan selalu melantunkan nyanyian “padamu negeri” atau “indonesia raya” dan yang lainnya. Atau dengan memeriahkan peringatan 17 Agustus yang kadang bertentangan dengan syari’at Islam. Atau dengan menangis-nangis saat pengibaran bendera merah putih. Tetapi cinta tanah air hanya dengan mengembalikan aturan hidup pada aturan Allah Ta’ala saja. Dengannya perdamain, keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan pasti akan terwujud. Tanpanya hanya akan terjadi kesengsaraan yang takpernah ada ujungnya. [amru]

Friday, April 19, 2013

Pengertian Menikah dan Hukumnya


Pengertian Menikah dan Hukumnya

Pengertian Nikah

Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.  Berkata Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”

Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu”  artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata”  artinya telah menggauli di organ kewanitaannya.  

Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan hubungan seksual”
.
Kata Nikah Dalam Al Qur’an

Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual.

Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :

÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

 “Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”

Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :

وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala  :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا 
إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” 

 Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah. Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.

Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “ nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “.

Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -
صلى الله عليه وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا

Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual) dengannya." 

Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda 
 Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :

اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح

Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima”

Dalam riwayat lain disebutkan :
اصْنَعُوْا كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع

Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali  jima”

 Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu pembicaraan ? 

Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad  nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki  menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.

Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh al-Utsaimin. 

Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan  seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab .

  Hukum Menikah

Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.

I. Hukum Asal Dari Pernikahan

Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat : Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama, berkata Syekh al-Utsaimin :

Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“ 

Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :

Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :

قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ 

 Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .

Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah),  kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan  bahwa : “al ashlu fi al amr  lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).

Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa ta’ala , sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala    :

 وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”

Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala : 

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.”

Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al Utsaimin :

Dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram.

Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.

 Pendapat Kedua :  bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. 

Dalil-dalil mereka adalah :

Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

 وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” 

Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala    memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang  meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “

Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).

Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.

Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya

Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.

Begitu juga seorang mahasiswa  atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.

Kedua : Nikah hukumnya sunah  bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta.

 Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. [26]

 Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita.

Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.

Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :

Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah.

Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama 
Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.  

Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. 

Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah  pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.

Demikian penjelasan singkat tentang pengertian nikah dan hukumnya yang disarikan dari pernyataan para ulama, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam.


Sunday, April 14, 2013

Pernikahan Menurut Hukum Islam

Pernikahan Menurut Hukum Islam

Kata Nikaha Berasal dari bahasa Arab Nikahun yang merupakan masdar dari kata kerja nakaha (tajawwaja) Nikah sering kita pergunakan, sebab telah masuk dalam bahasa Indonesia. Dalam kitab fiqh munakahat, yaitu bagian dari ilmu fiqh, tapi khusu membahas tentang perkawinan, memberi pengertian yaitu: interaksi dua pelaku yang berlainan jenis kelamin, sebab pernikahan memang tidak pernah terjadi dengan pelaku tunggal.

Menurut bahasa nikah berarti adh-dhammu wattadaakhul (bertindik dan memasukan) dalam kitab lain kata Nikah diartikan bertindih dan berkumpul, atau orang Arab bilang pergesekan rumpun pohon seperti bambu akibat tiupan angin diistilahkan dengan tanaakahatil asyjar (rumpun pohon itu sedang kawin) karena tiupan angin itu menyebabkan terjadinya pergesekan dan masuknya rumpun yang satu ke ruang yang lain.

Dalam kebiasaan sehari-hari kata nikah atau kawin mengandung dua maksud. Konotasinya (bukan arti/makna sesungguhnya), kata nikah disini dimaksudkan untuk perkawinan manusia, sedangkan kawin itu istilah untuk binatang. Kadang kita mendengar kata nikah atau kawin, sama-sama ditujukan kepada orang, tetapi dengan pengertian yang berbeda, seperti ucapan, “ kawin sih sudah, tetapi nikah belum” kawin disini di artikan melakukan hubungan suami istri secara ilegal (tidak resmi).

 Sedangkan nikah di artikan sebagai akad seremonila di hadapan petugas pencatat nikah.  sebagaimana di sebutkan dalam pengertian istilah ilmu fiqh, nikah berarti suatu akad (perjanjian) yang membolehkan melakukan hubungan suami istri dengan memakai kata-kata nikah/tazwiij.

Menurut para ulama mutaakhirin menjelaskan tentang pengertian nikah yaitu: Nikah adalah suatu akad yang membolehkan bergaul antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dan saling menolong diantara keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban diantara keduanya.

Dalam definisi diatas, tampak bahwa esensi perkawinan tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologis semata, melainkan adanya suatu kewajiban untuk menciptakan pergaulan yang harmonis yang di liputi rasa sayang menuju cita-cita bersama. sedangkan esensi yang terkandung dalam syariat, perkawinan adalah menaati perintah allah serta sunah rasul-nya, yaitu menciptakan suatu kehidupan rumah tangga yang mendatangkan kemaslahatan, baik bagi pelaku perkawinan itu sendiri, anak turunan, kerabat, maupun masyarakat. oleh karena itu perkawinan tidak hanya bersifat kebutuhan internal yang bersangkutan, tetapi mempunyai kaitan ekternal yang melibatkan banyak pihak. perkawinan dituntut untuk menghasilkan suatu kemaslahatan yang komplek, bukan sekedar ppenyaluran kebutuhan biologis semata.

pengertian diatas yang dikemukakan mutaakhirin selaras dengan pengertian yang diinginkan menurut undang-undang perkawinan yang termuat dalam pasal 1, yang berbunyi “ perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha Esa”

Dasar-Dasar Perkawinan Menurut Hukum Islam
perkawinan menurut  hukum Islam yang pertama adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat mitsaqan ghaliidzan, untuk menaati perintah allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. dan yang kedua, pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah.

Hukum Nikah
Duhulu, para ulama berbeda pendapat dan penafsiran terhadap ayat tentang nikah. diantara mereka, seperti Imam Abu Daud Adz-Dzahiri berpendapat bahwa Nikah itu, asal hukumnya wajib. adapun Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa nikah itu hukkumnya mubah.

Dari perbedaan pendapat tersebut akhirnya diputskan “ hukum nikah dapat berubah sesuai dengan kondisi dan situasi dan berpulang pada hukum yang lima” yaitu wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Jadi, andaikata ada lima orang dihadapkan pada nikah, belum tentu hukumnya yang sama. hal ini tergantung kepada bagaimana kondisi orang-orang tersebut.

Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.

 Pertana, Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.  Kedua, Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِيعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وَجَاءٌ». )رواه البخاري ومسلم(

Artiny “ wahay para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup melaksanakan perkawinan, lakukanlah. Sesungguhnya pernikahan itu dapat memalingkan pandangan yang liar dan memelihara kehormatan. Barang siapa yang belum mampu melakukannya hendaklah dia berpuasa, sebab berpuasa merupakan penghalang berbuat dosa”

  Ketiga, Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.  Keempat, Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.  Kelima, Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.

Dalam kehidupan berkeluarga, kita sering sekali mendengar istilah Sakinah, Mawaddah dan wa Rahmah. Ketiga kata tersebut sering dikaitkan dengan keluarga yang harmonis.

Sebagaimana diketahui, kata sakinah, mawadah dan rahmah itu diambil dari firman ALLAH SWT:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ 
لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ. (الروم : 21)
    
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri (pasangan) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih (mawadah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar-Rum : 21).

Makna Sakinah
Kata sakinah berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, kata sakinah mengandung makna tenang, tenteram, damai, terhormat, aman, nyaman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian keluarga sakinah berarti keluarga yang semua anggotanya merasakan ketenangan, kedamaian, keamanan, ketenteraman, perlindungan, kebahagiaan, keberkahan, dan penghargaan.
Makna Mawaddah
Kata mawaddah juga berasal dari bahasa Arab. Mawaddah adalah jenis cinta membara, perasaan cinta dan kasih sayang yang menggebu kepada pasangan jenisnya. Mawaddah adalah perasaan cinta yang muncul karena adanya sebab-sebab yang bercorak fisik. Seperti cinta yang muncul karena kecantikan, ketampanan, kemolekan dan kemulusan fisik, tubuh yang seksi; atau muncul karena harta benda, kedudukan, pangkat, dan lain sebagainya.

Biasanya mawaddah muncul pada pasangan muda atau pasangan yang baru menikah, dimana corak fisik masih sangat kuat. Alasan-alasan fisik masih sangat dominan pada pasangan yang baru menikah. Kontak fisik juga sangat kuat mewarnai pasangan muda. Misalnya ketika seorang lelaki ditanya, “Mengapa anda menikah dengan perempuan itu, bukan dengan yang lainnya?” Jika jawabannya adalah, “Karena ia cantik, seksi, kulitnya bersih”, dan lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah mawaddah. Demikian pula ketika seorang perempuan ditanya, “Mengapa anda menikah dengan lelaki itu, bukan dengan yang lainnya ?” Jika jawabannya adalah, “Karena ia tampan, macho, kaya”, dan lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah yang disebut mawaddah.

Makna Rahmah
Rahmah berasal dari bahasa Arab. yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, juga rejeki. Rahmah merupakan jenis cinta dan kasih sayang yang lembut, terpancar dari kedalaman hati yang tulus, siap berkorban, siap melindungi yang dicintai, tanpa pamrih “sebab”. Bisa dikatakan rahmah adalah perasaan cinta dan kasih sayang yang sudah berada di luar batas-batas yang bercorak fisik.

Biasanya rahmah muncul pada pasangan yang sudah lama berkeluarga, dimana tautan hati dan perasaan sudah sangat kuat, saling membutuhkan, saling memberi, saling menerima, saling memahami. Corak fisik sudah tidak dominan.

Misalnya seorang kakek yang berusia 80 tahun hidup rukun, tenang dan harmonis dengan isterinya yang berusia 75 tahun. Ketika ditanya, “Mengapa kakek masih mencintai nenek pada umur setua ini?” Tidak mungkin dijawab dengan, “Karena nenekmu cantik, seksi, genit”, dan seterusnya, karena si nenek sudah ompong dan kulitnya berkeriput. Demikian pula ketika nenek ditanya, “Mengapa nenek masih mencintai kakek pada umur setua ini?” Tidak akan dijawab dengan, “Karena kakekmu cakep, jantan, macho, perkasa”, dan lain sebagainya; karena si kakek sudah udzur dan sering sakit-sakitan. Rasa cinta dan kasih sayang antara kakek dan nenek itu bahkan sudah berada di luar batas-batas sebab. Mereka tidak bisa menjelaskan lagi “mengapa dan sebab apa” masih saling mencintai.

Ciri Keluarga Sakinah
kapan keluarga anda disebut keluarga sakinah. Misalnya seorang suami bekerja di luar rumah, dan pulang ke rumah setiap sore jam 17.00. Jika suami ini merasa tenang, damai, nyaman, tenteram saat semakin dekat ke rumah, maka ia memiliki perasaan sakinah. Namun jika setiap kali mau pulang, semakin dekat ke rumah hatinya semakin gelisah, tidak nyaman, enggan pulang karena tidak tenang, maka sangat dipertanyakan dimana rasa sakinahnya. 

Demikian pula saat isteri di rumah, ia mengetahui bahwa setiap jam 17.00 suaminya pulang ke rumah. Jika semakin dekat dengan jam kepulangan suami, hatinya semakin bahagia, tenang dan tenteram, maka ia memiliki perasaan sakinah. Namun jika semakin dekat dengan jam kepulangan suami hatinya berdegup kencang, tidak tenang, takut dan gelisah, maka sangat dipertanyakan dimana sakinahnya.
Apalagi jika si isteri berdoa “Semoga suamiku tidak jadi pulang, semoga suamiku dapat tugas lembur lagi sampai bulan depan”; atau bahkan “Semoga suamiku kecelakaan dan meninggal dunia”, maka sakinah sudah tidak ada lagi

Keluarga sakinah memiliki suasana yang damai, tenang, tenteram, aman, nyaman, sejuk, penuh cinta, kasih dan sayang. Keluarga yang saling menerima, saling memberi, saling memahami, saling membutuhkan. Keluarga yang saling menasihati, saling menjaga, saling melindungi, saling berbaik sangka. Keluarga yang saling memaafkan, saling mengalah, saling menguatkan dalam kebaikan, saling mencintai, saling merindukan, saling mengasihi. Keluarga yang diliputi oleh suasana jiwa penuh kesyukuran, terjauhkan dari penyelewengan dan kerusakan.

Hikmah Pernikahan

Pernikahan dalam Islam memiliki banyak hikmah. Oleh karena itu, Islam menganjurkan ummatnya untuk menikah dan tidak hidup melajang. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw, yang hidup sebagaimana manusia pada umumnya, hidup menikah dan tinggal bersama orang-orang yang dicintai. Berikut ini beberapa hikmah pernikahan dalam Islam yang bisa diambil pelajaran;

1. Menikah akan meninggikan harkat dan martabat manusia

Lihatlah bagaimana kehidupan manusia-manusia yang secara bebas mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya dengan nafsu yang tak bisa mereka kandangkan. Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang, apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan.

2. Menikah memuliakan kaum wanita

Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada kehidupan hitam hanya karena diawali oleh kegagalan menikah dengan orang-orang yang menyakiti kehidupan mereka. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarga.

3. Menikah adalah cara melanjutkan keturunan

Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan keturunan. Pasangan yang shaleh diharapkan mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula, dari anak-anak yang shaleh ini akan tercipta sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang shaleh sebagai cikal bakal kebangkitan Islam di masa akan datang.

4. Wujud kecintaan Allah pada makhluk-Nya untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik.

Inilah bukti kecintaah Allah terhadap makhluk-Nya. Dia memberikan cara bagi makhluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang makhluk. Di dalam wujud kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang akan dirasakan melalui adanya pernikahan. Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan, dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang.

Hikmah yg lainnya
Melaksanakan sunnah nabi.
Cara yang halal untuk menyalurkan nafsu syahwat.
Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
Memelihara kesucian diri
Melaksanakan tuntutan syariat Islam
Membuat keturunan

Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral.

 Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak. Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab. Dapat mengeratkan silaturahim dua keluarga besar

رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ الدُّنْيَا كُلَّهَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita saleh


وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Luqman 14)

يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ .

Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).) ( Luqman 17)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu". (Q.S. At Tahrim: 6) 

Demikian pengetahuan kami mengenai pernikan yang sesuai dengan hukum Islam. Mudah-mudahan dapat menambah wawasan bagi para pembaca, khususnya penulis Aminnnnnnnnnnnn..................!11111111