Pengertian
Menikah dan Hukumnya
Pengertian
Nikah
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat
al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu
tempat. Berkata Imam Nawawi : “Nikah
secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” ,
kadang digunakan untuk menyebut hubungan seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan
kata “Nukah al Mar-atu” artinya adalah
organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata” artinya telah menggauli di organ
kewanitaannya.
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk melakukan
hubungan seksual”
.
Kata Nikah Dalam Al Qur’an
Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk menyebut
akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual.
Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa
ta’ala :
÷ وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Maka lakukanlah akad nikah dengan
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”
Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَلَا
تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu lakukan akad
nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah dengan ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji
dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman
Allah subhanahu wa ta’ala :
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا
إِنْ ظَنَّا أَنْ
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak
yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan
hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) mengetahui.”
Arti nikah pada ayat di atas adalah
al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah. Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.
Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga
kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan “
nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum
kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “ nikah “ dengan suami yang
kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan seksual “.
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan
oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَجُلٍ
طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ
فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا
الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ -
صلى الله عليه وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ
حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا
“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya
tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan
bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah
ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama
hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya yang lain, dan
ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual) dengannya."
Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan
hubungan seksual adalah sabda
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا
كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح
“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang
sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima”
Dalam riwayat lain disebutkan :
اصْنَعُوْا
كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع
“ Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali jima”
Setelah kita mengetahui bahwa nikah
mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan melakukan hubungan seksual, maka
pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti
tersebut di dalam suatu pembicaraan ?
Para ulama membedakan antara keduanya
dengan keterangan sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki
menikah dengan seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya
bahwa laki-laki tersebut melakukan akad
nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa
laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.
Dari kedua makna nikah di atas, mana
yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut
akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz untuk menyebutkan hubungan seksual.
Ini adalah pendapat shahih dari madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu
Thoyib, Mutawali dan Qadhi Husain. Ini juga merupakan pendapat yang dipilih
oleh Syekh al-Utsaimin.
Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut
hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai
secara majaz untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari,
al-Jauhari dan az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa
Arab .
Hukum Menikah
Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan,
kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.
I. Hukum Asal Dari Pernikahan
Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat : Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah
pendapat sebagian ulama, berkata Syekh al-Utsaimin :
“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang
mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk
menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam
pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“
Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia
berkata :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu
telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah,
karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa
belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan
para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia
menikah), kalimat tersebut mengandung
perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan
bahwa : “al ashlu fi al amr lil
wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).
Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa
ta’ala , sebagaimana firman Allah
subhanahu wa ta’ala :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا
لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ
إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
“Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka
istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan
sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada
Kitab (yang tertentu)”
Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ
عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ
بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ
فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا
وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ
النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“ Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan
sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka
sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian
lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata,
“Aku tidak akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau
bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku
sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi
wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari
golonganku.”
Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap
orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah
haram. Berkata Syekh al Utsaimin :
Dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia
mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang
meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai
ibadat non muslim hukumnya adalah haram.
Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan
tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.
Pendapat Kedua : bahwa hukum asal dari pernikahan adalah
sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam
Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa
perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban dan tidak diketahui
seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya
dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad.
Dalil-dalil mereka adalah :
Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama
(bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pilihan antara menikah atau
mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah
tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut
ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak
wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan
menyebabkan orang yang meninggalkan
kewajiban tidak berdosa. “
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan
menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang
dianjurkan).
Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya
terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa
perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.
Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah
sebagai berikut :
Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang
tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai
kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya,
sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa atau
pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena
memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca
buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun
tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di
dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang
dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau
menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam
belajar.
Kedua : Nikah hukumnya sunah bagi
orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir
terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih
Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya
Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta.
Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi
orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang
yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. [26]
Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi
orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah
syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk
dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya
tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus,
dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali,
karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik
dengan wanita.
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah, tetapi tidak punya harta yang cukup, maka
baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk
menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya
untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas
ulama Syafi’iyah.
Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu
Hanifah dan sebagian dari ulama
Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah.
Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan
sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan
menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah
sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal
lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan,
kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan
ketentraman.
Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu
bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak.
Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi (
Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan
umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam
keadaan darurat, maka dibolehkan.
Demikian penjelasan singkat tentang pengertian nikah dan hukumnya yang
disarikan dari pernyataan para ulama, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu
A’lam.
No comments:
Post a Comment